Opini
Oleh Cak AT (Ahmadie Thaha) pada hari Kamis, 30 Jan 2025 - 11:07:50 WIB
Bagikan Berita ini :

Jangkrik Bos

tscom_news_photo_1738210070.jpeg
(Sumber foto : )


Bayangkan ini: Anak-anak berhamburan dari kelas, berlari menuju ruang makan, duduk manis, lalu membuka kotak makan siang dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Alih-alih ayam goreng atau ikan bakar, mereka disambut oleh jangkrik panggang, bersanding nasi, sayur pecel, dan seiris buah mangga.

Tidak, ini bukan episode Fear Factor, melainkan visi dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, yang mengusulkan serangga sebagai bagian dari menu MBG. Pro-kontra pun bermunculan, dari yang memuji inovasi ini sebagai langkah maju, hingga yang mengernyitkan dahi seraya bertanya, “Sudah semiskin inikah kita?”

Mari kita pecahkan persoalan ini dengan cermin terang yang memantulkan realita. Usulan ini memang menggugah, tetapi apakah jangkrik atau serangga lainnya seperti ulat sagu benar-benar cocok menjadi jawaban atas masalah gizi bangsa? Keseriusan kita dalam mengatasi rendahnya gizi anak-anak kita kini diuji.

Di satu sisi, jangkrik kaya protein —50-60% pada jangkrik kering, kata hasil laboratorium satu universitas besar di Yogya. Jangkrik bisa menjadi solusi cepat saji, sehat, dan —mungkin— lezat. Namun, di sisi lain, jangkrik juga bisa menjadi simbol bagaimana ide besar sering kali gagal memahami kenyataan sosial dan budaya masyarakat.

Kita akui, Dadan benar dalam satu hal: keragaman pangan adalah kunci ketahanan gizi. Beberapa daerah di Indonesia memang sudah akrab dengan konsumsi serangga. Di wilayah Gunung Kidul, belalang goreng adalah camilan yang tak kalah dari keripik kentang. Tapi apakah jangkrik dapat diterima secara nasional?

Anggota DPR, Arzeti Bilbina, dengan bijak mengingatkan bahwa masyarakat kita tidak bisa dipaksa melompat dari ayam goreng ke jangkrik goreng dalam semalam. “Harus dipertimbangkan kulturnya,” katanya, dengan nada mengkhawatirkan potensi trauma massal pada anak-anak yang disuguhi jangkrik tanpa peringatan.

Satu fakta penting yang sering dilupakan adalah bahwa makanan bukan hanya soal nutrisi, tetapi juga soal identitas. Nasi, tempe, dan ayam goreng bukan sekadar isi piring, tetapi simbol budaya yang menyatukan kita sebagai bangsa. Memasukkan jangkrik ke dalam menu nasional tanpa sosialisasi yang tepat bisa jadi seperti mencoba menukar Garuda Pancasila dengan simbol jangkrik emas.

Namun, mari kita jujur —jika Thailand dan China bisa menjual serangga sebagai camilan pinggir jalan, mengapa kita tidak? Thailand menjadikan jangkrik sebagai produk ekspor bernilai jutaan dolar. Mungkin kita terlalu serius memandang jangkrik sebagai “makanan darurat”. Padahal, jangkrik sebenarnya bisa menjadi simbol inovasi dan keberanian melawan stigma. Siapa tahu, suatu hari nanti, “rendang jangkrik” akan menjadi ikon kuliner baru Indonesia.

Namun, di balik humor ini ada realita pahit. Mengusulkan jangkrik sebagai solusi gizi tanpa mengatasi akar masalah adalah seperti menempelkan plester di luka menganga.

Masalah kita bukan kekurangan jangkrik, tetapi kurangnya akses masyarakat terhadap protein yang terjangkau dan berkualitas. Mengapa tidak fokus pada meningkatkan produksi ikan atau ayam, yang sudah diterima secara luas, ketimbang menciptakan resistensi budaya yang malah menghambat tujuan gizi nasional?

Jika ingin sukses, program ini membutuhkan tiga hal: edukasi, sosialisasi, dan adaptasi. Edukasi tentang manfaat gizi jangkrik harus dilakukan, tetapi dengan bahasa yang sederhana dan akrab. Sosialisasi harus menggandeng tokoh masyarakat, bahkan mungkin influencer, untuk mengubah persepsi masyarakat.

Dan terakhir, adaptasi adalah kuncinya. Jangkrik bisa diperkenalkan bukan sebagai menu utama, tetapi sebagai campuran protein tambahan dalam makanan yang sudah dikenal, seperti tepung untuk roti atau camilan.

Dengan pendekatan yang tepat, jangkrik bisa menjadi solusi, bukan bahan olok-olok. Sebaliknya, tanpa langkah strategis, usulan ini akan menjadi “jangkrik bos” yang hanya terdengar lucu tetapi tak pernah serius dijalankan. Akhirnya, mari kita berharap bahwa jangkrik di piring kita akan menjadi simbol inovasi, bukan parodi kebijakan yang kehilangan arah.

Cak AT - Ahmadie Thaha
Ma"had Tadabbur al-Qur"an,29/1/2025

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

TNI-Polri, Pilar Negara yang Harus Profesional dan Netral

Oleh Ariady Achmad, Pemerhati kebijakan publik
pada hari Kamis, 30 Jan 2025
Dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri kamis 30 Januari 2025 di Jakarya, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa salah satu ciri negara gagal adalah tidak efektifnya kerja TNI dan Polri. Ia juga ...
Opini

Strategi Politik Jokowi dan Dinamika Menuju 2029

Jakarta – Peta politik Indonesia terus mengalami perubahan seiring dengan persiapan transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke presiden terpilih Prabowo Subianto. Di tengah ...