JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Hanura, Dadang Rusdiana mengatakan bahwa Indonesia itu negara yang plural, yang berideologi Pancasila. Semua sudah sepakat bahwa Pancasila merupakan falsafah bangsa, yang tentunya mewadahi semua keragaman yang ada.
Demikian disampaikannya saat menanggapi insiden Tolikara beberapa waktu lalu. Menurutnya, ideologi Pancasila yang dijabarkan pada sistem politik yang demokratis tentunya harus menjamin keadilan kepada semua warga tanpa terkecuali.
"Semua warga, apapun suku dan agamanya bersamaan kedudukannya di depan hukum. Oleh karena itu tidak boleh ada peraturan yang bersifat diskriminatif, yang mengistimewakan salah satu kelompok, kemudian di sisi lain memarjinalkan kelompok minoritas.Itu tidak boleh terjadi," katanya via BlackBerry Messenger di Jakarta, Minggu (2/8/2015).
Adapun, kata Dadang, Perda yang bermuatan agama tertentu hanya diperbolehkan dalam tuntunan moral yang bersifat universal saja, artinya semua agama meyakininya seperti perda anti maksiat, itu boleh, atau perda tentang zakat, tidak masalah.
"Tetapi kalau perda tersebut memuat larangan kepada kelompok lain, itu yang nggak boleh.Itu artinya kelompok minoritas "meminjam kekuasaan" negara, untuk menindas atau menzholimi kelompok lain. Ini yang tidak boleh terjadi," tandasnya.
Saat ditanya siapa yang harus bertanggungjawab terhadap Perda-Perda bernuansa diskriminatif, Dadang menegaskan bahwa para pemimpin di daerahlah yang harus bertanggungjawab akan Perda-Perda tersebut.
"Ya anggota DPRD dan Kepala Daerah. Kalau berlaku seperti itu mereka telah melanggar sumpah jabatan. Kan di dalam sumpah jabatan harus mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok," tegasnya.
Dadang juga menekankan agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap perda-perda yang berpotensi diskriminatif.
"Artinya menteri dalam negeri punya kewenangan untuk mengevaluasi perda-perda yang tidak sejalan dg ketentuan sebagai peraturan perundang-undangan.Di dalam UU pemerintahan daerah, sejak dulu kan sudah tegas bahwa agama itu adalah urusan pemerintahan pusat," tegasnya.
"Jadi enggak boleh ada regulasi yang berkenaan dengan agama dilakukan oleh pemerintahan daerah.Artinya perda tersebut oleh mendagri harus dibatalkan.Kalau insidennya tentu menjadi kewenangan BIN dalam mengantisipasinya."
Adapun, kata Dadang, jika ada perda-perda bernuansa SARA yang lolos, maka itu merupakan bentuk keteledoran dari Kementerian Dalam Negeri.
"Sedangkan lolosnya perda tersebut, bisa dikatakan kelalaian kementrian dalam negeri dalam mengendalikan perda-perda bernuansa diskrimasi SARA. Terlepas apakah sebuah daerah menjalankan otsus atau tidak, didalam sebuah negara yang menganut sistem politik demokratis, tidak boleh ada diskriminasi," pungkasnya. (iy)