Opini
Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR-RI) pada hari Minggu, 20 Sep 2015 - 17:48:19 WIB
Bagikan Berita ini :

Ironis, Majelis Hakim Nyatakan Kongres Advokat Indonesia Ilegal

72images (5)_1442744346880.jpg
Djoko Edhi S Abdurrahman (Sumber foto : Istimewa)

Kali ini, organisasi KAI (Kongres Advokat Indonesia) yang diilegalkan. Putusan Majelis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (22/9/2015) menetapkan bahwa KAI bukan organisasi advokat!

Tampaknya KAI dikepung dari segala arah tafsir hukum. KAI dinyatakan bukan organisasi advokat, karenanya tak punya legal standing untuk menggugat.

Sebelumnya, BAS (berita acara sumpah) KAI yang dinyatakan ilegal oleh MA (Mahkamah Agung), tidak sahih sebab tak dilantik PT (pengadilan tinggi). Karena BAS dan organisasinya tidak sahih.

Habis sudah KAI. Untunglah, belum inkracht (final). Masih tingkat I, masih ada peluang di tingkat II (banding), dan tingkat III (kasasi). Kalau kalah ketiganya, tinggal herziening. Selesai itu, kalau kalah, KAI harus bubar. Itu serius.

Ini memang kasus unik dan aneh. Padahal, MA baru menerbitkan Perma no 5 Tahun 2015 yang tidak lagi mensyaratkan ber-BAS untuk beracara di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).

Tapi Perma itu cuma PTUN, tak berlaku di PN (Pengadilan Negeri) dan PA (Pengadilan Agama), dsbnya. Mungkin karena di PTUN itu perdata (?).

Dalam kasus Perma itu, tampaknya tak berlaku azas kesamaan hukum yang mestinya subtansial. Apa bedanya beracara di PTUN dengan di PN dan di PA?

Kalau bedanya hukum perdata dengan hukum pidana pidana, PA juga hukum perdata. PA dan PN juga di bawah MA. Perma itu mendiskriminasi PTUN, PA dengan PN.

Jitu reason Ketua Majelis PN Jakarta Pusat, Nirwana yang, berangkat kasus wadah tunggal dari isi UU Advokat, yakni Peradi, (tanpa masuk ke pokok perkara: berhenti di legal standing).

Ketika kini Peradi pecah tiga, wadah tunggal dimaksud Nirwana sudah tak ada. Sudah pecah tiga. Jadi, "yang sudah tak ada itu" dalilnya.

Di situ, ada jarak antara bukti dan dalil. Sedangkan eksistensi KAI, yang ditinjau dari batas waktu UU Advokat sudah kedaluarsa pendiriannya, nyata dan exiting. Paradoksal antara postulat dan bukti.

Namun menurut saya, putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang mengabsah KAI sebagai organisasi advokat tak bisa digunakan, karena putusan itu berbasis hak. Sebab, hak-hak itu sudah dibreakdown dalam sejumlah UU (undang-undang).

Tak bisa digunakan untuk melawan MA, di mana wilayah PN, PA, PTUN, dsb adalah "milik" MA. Kalau pendekatannya menggunakan hukum, takkan menanglah melawan MA. Saya lihat MA sedang unjuk kekuasaan yang harus dihormati.

Dihajar Nirwana di legal standing KAI, tampaknya sukar pula menafsirkan lain di PT (judex pacti - pengadilan tinggi) dan Kasasi (MA). Apalagi objeknya adalah menggugat putusan MA sendiri.

Belum-belum, hakim sudah memihak MA. Kalau tak memihak, pasti hakim "lilu". Bisa habis masa depan sang hakim dikerjai MA. Jadi, siap-siaplah KAI untuk membubarkan diri. Kalau MA kreatif, ditambahnya pula putusan membubarkan KAI.

Kelemahan putusan Nirwana itu cuma satu: tidak sesuai dengan realitas! Tidak voluntee generale! Sebab, wadah tunggalnya sudah tak ada, dan eksistensi KAI tak mampu dinegasikan.

Dengan menyatakan KAI bukan organisasi advokat, yang tak memiliki satu pun keabsahan (BAS dan Organisasinya), samalah dengan mambubarkan KAI. Para ahli hukum KAI kini dipaksa mengeluarkan kedigjayaannya. Atau bubar.

Kisah Hakim Nirwana

Majelis Nirwana telah menerima eksepsi Ketua MA selaku tergugat dan menyatakan gugatan KAI tak diterima. Artinya, KAI gagal membatalkan Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) sebagai wadah tunggal advokat dalam surat MA No 89/KMA/VI/2010.

Dengan diterimanya eksepsi Ketua MA selaku tergugat sekaligus gugatan KAI ditolak (sebelum sampai pada pokok perkara lainnya. Patah pada urusan legal standing). Ironis.

Nirwana menilai KAI tak punya legal standing untuk menggugat. Sebab, KAI tidak memenuhi syarat organisasi advokat oleh Pasal 28 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (4) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Alasan itu menyebut KAI tak berhak mengajukan perkara karena KAI bukan organisasi advokat sesuai aturan UU Advokat.

Menurut majelis Nirwana, KAI baru berdiri 30 Mei 2008, sedang Pasal 32 ayat (4) UU Advokat mengamanatkan pembentukan organisasi tunggal advokat, paling lama dua tahun sejak diberlakukannya UU Advokat pada April 2003.

Saat itu, sudah ada organisasi advokat yang diakui para advokat. "Yang diatur Pasal 32 Ayat (4) sudah terpenuhi. Terbentuknya KAI melampaui waktu, dengan sendirinya KAI bukan yang dimaksud oleh Pasal 28," kata Nirwana.

Diterimanya eksepsi secara persona standi in judicio, maka majelis tak perlu memeriksa materi eksepsi lainnya. Demikian juga pokok perkara, tidak dipertimbangkan lagi.

Kuasa hukum KAI, Erman Umar, memgajukan banding.

Erman menilai seharusnya hakim mengerti bahwa perdebatan sah-tidaknya KAI telah diputus oleh MK. MK menyatakan KAI organisasi advokat sesuai prinsip kebebasan berserikat UUD 1945.

MA tidak mengikuti putusan MK. MA menafsirkan sendiri UU Advokat. Ia mempertanyakan independensi hakim,

Ketua MA digugat KAI atas surat No 089/KMA/VI/2010 yang menyatakan Peradi adalah wadah tunggal organisasi advokat. KAI menggugat Ketua MA Harifin Andi Tumpa dan ganti rugi Rp 50 miliar.(*)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #djoko edhi  #kai  #nirwana  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Mentalitas Kasino

Oleh Ahmadie Thaha (Pengaruh Pesantren Tadabbur al-Qur'an)
pada hari Selasa, 05 Nov 2024
Dalam dunia yang penuh dengan mimpi-mimpi besar, mungkin ada di antara kita yang membayangkan Indonesia sebagai Tanah Air yang tenteram, adil, dan sejahtera. Tapi tunggu dulu. Ternyata, harapan itu ...
Opini

Tidak Ada Kerugian Negara Dalam Pemberian Izin Impor Gula 2015: Ilusi Kejagung

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong telah menyalahgunakan wewenang atas pemberian izin impor Gula Kristal Mentah tahun 2015 kepada perusahaan swasta PT AP, sehingga merugikan keuangan ...