Opini
Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR-RI) pada hari Minggu, 04 Okt 2015 - 21:26:11 WIB
Bagikan Berita ini :

Dilema Ideologisasi Cina Perantauan (Hoaqiaou)

65images (5)_1442744346880.jpg
Djoko Edhi S Abdurrahman (Sumber foto : Istimewa)

Ke depan harus dilakukan ideologisasi untuk menguatkan komitmen kenegaraan di lingkungan global sehingga nation state tidak rapuh dari dalam.

Ketika pertumbuhan ekonomi beralih dari Barat ke Timur, yaitu Tiongkok, masalah baru muncul di mana pemulihan ekonomi (economic recovery) Indonesia bergantung pula kepada pasar Tiongkok dan pinjaman dari Tiongkok. Ini mencemaskan.

Adalah fakta bahwa borderless antara RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dengan Indonesia disambungkan oleh Hoaqiauo (diaspora China). Tak ada masalah andaikata Tiongkok tidak berpaham Komunisme. Konsekuensi logis datang dari masyarakat alergi ideologi Komunisme, yang menguat Oktober ini.

Peristiwa G30S/PKI masih dipersoalkan oleh Angkatan Darat, tidaklah berdiri sendiri, dan sekadar timbul dari rasa sakit masa lampau, melainkan faktor determinan. Komunisme memang telah mati di Uni Soviet, tapi tidak di Tiongkok.

Namun fakta pula bahwa Hoaqiau (Chinese Overseas, Tionghoa Perantauan) telah berperan penting dalam perdagangan sehingga ekspor Indonesia tertinggi adalah ke Tiongkok.

Di sisi lain, menurut Rene Pattiradjawane, Kompas, politik OBOR (on belt on road, satu sabuk, satu jalan, satu China) RRT, juga beroleh pemaknaan baru yang kacau.

Di Jakarta, Perdana Menteri Tiongkok, Li Keqiang telah menyatakan perluasan kohesi kebangsaan Tiongkok (zhonghua minzu) untuk menguatkan identitas nasional RRT (minzu rentong gan). Sementara Hoaqiaou di Indonesia sudah memilih kewarga negaraannya, yaitu Indonesia.

Di WCEC (Konferensi Wiraswasta Tionghoa Dunia) ke 13 di Bali, pekan lalu, hal itu kembali mengemuka. Akibatnya, investasi Tiongkok, juga ditandai dengan segala kecurigaan dari pribumi.

Apakah negara telah tergadai? Asumsi ini sangat merugikan economic recovery. Publik mencurigai segala hal yang berbau Tiongkok hanya karena mereka Komunis dan xenophobia.

Indonesia adalah negara penerima Hoaqiaou tertinggi di dunia, yaitu 7.834.000 orang tahun 2009. Kini mungkin 8 juta orang. Li menyatakan Hoaqiauo tadi adalah jembatan pelangi inisiatif OBOR.

Jika sistemnya tidak paradoks, tak ada masalah. Tapi karena Tiongkok bersistem Komunisme, akan bermasalah dengan sistem Indonesia yang anti Komunisme. Di sini simpang jalannya.

Kemudian ketakutan atas kembalinya kekuatan ekonomi Hoaqiaou di era Orba, juga menjadi latar belakang psikososiologis yang sangat kuat.

Dulu di Orba, ada 296 perusahaan Taipan yang digunakan oleh Presiden Soeharto untuk memutar mesin ekonomi Orde Baru. Sebanyak 116 adalah konglomerat utama yang dibesarkan oleh Rezim Soeharto guna menjalankan teori trickle down effect dari logi ketiga Trilogi Pembangunan Repelita.

Saat itu belum ada fenomena borderless sehingga tak bermasalah. Tak ada kendala ideologisasi karena Orba anti Komunis, di samping hubungan diplomatik Indonesia dengan RRT sudah terputus sejak 1965. Hoaqiaou bermasalah dengan mudah dicap Komunis agar mereka tetap tunduk kepada lini komando Presiden Soeharto.

Kondisi kini lain, borderless, adalah tanpa tepi ketika demokrasi sedang lemah. Bisnis Hoaqiaou kembali menanjak, hubungan diplomatik Indonesia dengan RRT kembali mesra, Hoaqiaou praktis memiliki dua tanah air: Tiongkok dan Indonesia!

Selain itu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok telah menjadi primadona, tujuan utama ekspor dan perdagangan Indonesia. Ketika Indonesia, India, dan Tiongkok mendirikan AIIB (Asia Infrastructur Investment Bank) 24 oktober 2014, eksistensi Indonesia masuk ke AIIB, dan bank kreditur itu mengabulkan pinjaman Presiden Jokowi Rp 560 triliun.

Mau-tak-mau, Tiongkok terintegrasi dengan pembangunan Indonesia. Apalagi setelah Yuan resmi masuk special drawing rights (mata uang resmi dunia) yang sudah disetujui Presiden Amerika Barrack Obama dan Direktur IMF, Christian Lagarde pekan lalu.

Masalahnya, kembali ke dua systems yang tak sama itu: ideologi Komunisme dan ideologi Pancasila yang anti Komunisme.

Adalah fakta bahwa negara Komunisme terbesar saat ini ialah Tiongkok. Negara Tirai Bambu itu belum mengenal demokrasi. Negara itu dipimpin partai tunggal, yakni Partai Komunis China (PKC).

Namun, ini untuk kedua kalinya dalam 100 tahun terakhir, bahwa ekonomi lebih sukses dikelola oleh otoritarianis dibanding demokratis. Sebelumnya adalah fenomena Uni Soviet.

Penelitian Prof Horton dan Prof Hunt dari Michigan University dalam "Sosiologi" menjelaskan bahwa tak ada bukti bahwa negara demokratis mampu mengelola ekonomi.

Sebaliknya, kata Horton dan Hunt, hingga 1986 (tahun studi itu), tidak ditemukan satu orang pun yang menganggur di Uni Soviet, sementara di Amerika terdapat 16 juta orang yang hidup dari jaminan sosial.

Tesis Horton dan Hunt itu saya kira cukup kukuh untuk menjawab kenapa kini Tiongkok berkembang pesat, dan mengapa Indonesia kian tertinggal dalam pembangunan ekonomi sejak Reformasi.

Yaitu, partai tunggal PKC telah menjaga lini komando ke mana ideologisasi di-driver ketika Tiongkok melakukan reformasi untuk pembangunan ekonomi, setelah kejatuhan Komunisme Blok Timur 1993.

Sebaliknya Indonesia, melakukan Reformasi namun gagal men-driver ideologisasi. Terlalu banyak ketua umum partai, adalah kendala utama dalam mendriver ideologisasi. Terlalu banyak partai, juga telah menggagalkan lini komando negara.

Dari situ juga dapat dibaca bahwa Amerika berhasil, karena hanya ada dua ketua umum partai, dan dua partai, sehingga ideologisasi dan lini komando tetap efektif.

Pernyataan untuk pribumi: kita butuh investasi dari diaspora China atau tidak?

Di konferensi WCEC itu konglomerat Mochtar Riady dan Kiki Barki telah menawarkan gagasan urunan investasi untuk Indonesia.

WCEC didirikan oleh Kadin Singapore, Kadin Bangkok, dan Kadin Hongkong. WCEC itu kelas dunia. Bukan kelas Nine Swords, atau Sembilan Naga.

Konflik pada mereka adalah kepentingan politik OBOR Tiongkok yang tarik menarik tadi.

Di RRT, diaspora Tiongkok diurus OCAO (Kantor Urusan China Perantauan), dipimpin seorang direktur setara menteri, Qiu Yanping, di bawah Perdana Menteri RRT, Li Keqiang.

Oleh RRT, Juli 2015, berdiri pula Konferensi Industralis dan Wiraswasta China dan Tionghoa Dunia (WOCE) sehingga kini ada dua organisasi kekuatan ekonomi dan perdagangan dunia Hoaqiaou, yakni WCEC dan WOCE.

Ada baiknya, Pemerintah Indonesia juga memiliki kantor urusan diaspora China untuk mengurus konflik dan ideologisasi.

Hal lain, Rene Radjapatti menilai, Li Keqiang mengacaukan terminologi Hoaqiaou sehingga rancu antara diaspora Tionghoa dengan warga non-RRT yang seolah menjadi bagian politik penguasa Beijing.

Li memang memapar peran Hoaqiau dan Huaren (orang Tiongkok) sebagai Caihongqiaou (jembatan pelangi tadi) untuk inisiatif OBOR, perantara pembangunan ekonomi RRT kepada dunia.

Masalahnya, selama ini, Hoaqiaou adalah bagian integral dari pembangunan ekonomi Asia Tenggara di mana Hoaqiaou menjadi warga negara.(*)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #djoko edhi  #cina  #komunis  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...