Saat ini perhatian masyarakat , tidak hanya di Indonesia, tapi juga bahkan di seluruh dunia, mengamati sebuah peristiwa politik dan praktik berdemokrasi yang ada di gedung Parlemen di Senayan.
Kita dipertontonkan bagaimana para wakil rakyat yang merupakan produk Pemilu 2014 itu ‘bermain-main’ dengan sistem ketatanegaraan untuk memuluskan hasrat kekuasaannya. Awalnya, partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) berhasil ditekuk dalam pemilihan presiden.
Alhasil, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dimotori PDIP berhasil mengusung Jokowi sebagai Presiden melalui pemungutan suara. KMP pun akhirnya legowo, mengakui Jokowi dan memilih menjadi kelompok oposisi atau dalam bahasa lain disebut penyeimbang di lembaga eksekutif, yaitu di DPR.
Posisi KMP kuat di DPR karena jumlahnya lebih banyak dari KIH hingga mampu menguasai pimpinan komisi dan alat kelengapan Dewan (AKD). Harusnya KIH juga legowo jika kalah suara di Parlemen. Toh, pihak KMP berjanji tidak akan merongrong pemerintahan Jokowi. Yang akan dilakukan adalah mengkritisi jika kebijakannya melenceng, tapi tentu mendukung jika sudah sesuai dengan aspirasi rakyat. Konstruktif.
Belakangan, KIH ingin minta jatah kekuasaan di tingkat komisi dan alat kelengkapan Dewan (AKD) kepada KMP. Tak diluluskan, KIH pun mengadakan mosi tak percaya dan membuat DPR tandingan. Kita jadi ingat dengan kosakata yang sering bergulir saat pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu tirani minoritas dan diktator mayoritas. Besar menindas, kecil merongrong, itu bahasa rakyat kecil.
Indonesia sedang disorot dan bahkan dicontoh bagaimana peralihan suatu kekuasaan tidak berakhir dengan anarkhis dan pertumpahan darah karena memiliki piranti hukum yang kuat dan semua taat asas. Jika demikian, kapan perang otot KMP vs KIH berakhir agar program pemerintah untuk menyejahterakan rakyat dapat segera dimulai. (b)