JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta tak berhenti pada tiga orang yang telah ditetapakan sebagai tersangka pada kasus dugaan suap pengesahan Raperda RZWP3K dan RTR Kawasan Strategis Pantura Jakarta.
Koordinator 98 Indonesia Tolak Reklamasi Teluk Jakarta, Agung W Hadi mengatakan, masalah megaproyek 17 pulau buatan itu tidak hanya terkait pengesahan dua payung hukum. Tetapi juga menyeret sang pemberi izin reklamasi, yakni Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Pengusutan harus dituntaskan sampai kepada pemberi izin reklamasi. Selaku gubernur, tentu wewenang mengelurkan izin reklamasi adalah Ahok. Kalau KPK serius, ini harus dibongkar," kata Agung saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (2/4/2016).
Aktivis ’98 ini menyebut demikian lantaran Wakil Ketua KPK Laode Syarif sebelumnya mengakui, bahwa reklamasi di utara Jakarta tengah menuai polemik, baik dari masyarakat maupun peraturan perundang-undangan.
"Disebutkan juga, kebijakan rekalamasi tidak sinkron dengan UU di atasnya. Sehingga, pemberian izin juga harus diusut," tandasnya.
Diketahui, sedikitnya tiga orang dari dua pihak telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus dugaan suap pengesahan dua Raperda tentang Reklamasi yang merupakan inisiatif Pemprov DKI.
Mereka adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi, Presdir PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja, dan pegawai PT APL Trinanda Prihantoro.
Sebelumnya terungkap jika Ahok menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi ini tak sampai dua bulan setelah ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, tepatnya 23 Desember 2014.
Izin tersebut dikeluarkan untuk PT Muara Wisesa Samudra (MWS), anak perusahaan APL, agar bisa melakukan pembangunan Pulau G (Pluit City) seluas 161 ha.
Pada 2015 silam, Ahok yang merupakan bekas politikus Gerindra dan Golkaritu kembali menerbitkan bebetapa izin reklamasi untuk beberapa pengembang. Rinciannya, PT Jakarta Propertindo di Pulau F (190 ha). Kemudian, PT Taman Harapan Indah (anak perusahaan Intiland) di Pulau H (63 ha), PT Pembangunan Jaya Ancol di Pulau K (32 ha) dan PT Jaladri Kartika Eka Pakci di Pulau I. (iy)