Zoom
Oleh Hajriyanto Y. Thohari (mantan Wakil Ketua MPR RI dan mantan Ketua DPP Partai Golkar) pada hari Kamis, 25 Des 2014 - 19:59:12 WIB
Bagikan Berita ini :

Munas Rekonsiliasi Partai Golkar: Sebuah Tawaran (2)

52hajrianto tohari2.jpg
Hajriyanto Y Thohari (Sumber foto : Mulkan Salmun/TeropongSenayan)

Sekarang setelah Munas Bali dan Munas Jakarta nekat dilaksanakan maka konflik atau perpecahan tersebut secara tak terelakkan mulai mengalami masifikasi. Pasalnya, sebagaimana biasanya sebuah Munas, pastilah akan memilih ketua umum dan menghasilkan struktur serta personalia DPP. Maka lahirlah dualisme kepemimpinan, DPP kembar.

Dan itu sudah terjadi dan menjadi fakta politik yang sama-sama kita saksikan. Seperti yang saya duga, tentu perpecahan ini akan berlanjut dan merembet ke lembaga lain, yaitu pertama-tama ke Fraksi Partai Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dan yang terakhir ini sudah terjadi pula. Jika hal ini tidak dikelola secara cermat dan arif maka rentetan dan rembesan perpecahan berikutnya bisa diduga akan berlanjut ke DPD I dan DPD II Partai Golkar.

Sungguh bisa dibayangkan bagaimana jika Fraksi Partai Golkar yang merupakan perpanjangan tangan partai mulai terbelah juga! Bagaimana nanti saat menyikapi pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan dan wacana penggunaaan hak-hak Dewan yang sangat banyak dan beragam jika sampai terjadi dualisme kepemimpinan fraksi benar-benar terjadi? Belum lagi di tahun 2015 Partai Golkar menghadapi Pilkada di hampir setengah daerah otonomi tingkat provinsi dan kabupaten/kota? Partai Golkar bisa terancam tidak bisa ikut serta di dalam Pilkada tersebut. Sungguh ini perkembangan yang harus dicermati dan diwaspadai.

Sayangnya yang terjadi di kalangan elite pimpinan di kedua DPP Partai Golkar tersebut di atas justru terjadi kecenderungan untuk melakukan apa yang disebut dengan ”politik burung unta”, yaitu sikap yang menganggap enteng konflik yang sudah mengarah ke perpecahan yang masif itu. Mereka dulu mencibir analisis saya dengan mengatakan "tidak ada perpecahan dalam PG". Mereka tanpa sadar telah melakukan "politik burung unta" dengan menyembunyikan fakta telah terjadinya konflik yang menjurus ke perpecahan masif.

Ada beberapa oknum di kedua belah pihak yang justru lebih suka mengklaim kebenaran secara sepihak hanya berdasarkan pandangan legal-formalistik belaka dari pada bersikap rendah hati untuk menjalin komunikasi untuk mewujudkan islah atau rekonsiliasi. Mereka lupa bahwa dalam setiap konflik partai politik selalu saja semua pihak merasa paling absah, paling benar, paling sesuai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, dan last but not least paling kuat dan perkasa.

Kini perpecahan Partai Golkar masih berada di ambang masifikasi setelah (perpecahan itu) mulai merembet ke fraksi PG di DPR. Kini akhirnya yg berlangsung adalah kuat-kuatan politik saja! Masing-masing ingin menunjukkan eksistensinya secara de facto! Mereka mulai berprinsip yang penting secara de facto kubu mereka hadir (omnipresent) di medan politik. Ini ciri dari telah terjadinya masifikasi perpecahan. Semakin masif suatu perpecahan semakin kompleks dan rumit untuk direkonsiliasikan.

Mereka lupa bahwa dalam kenyataannya setiap konflik organisasi politik soal keabsahan legal formal itu seringkali menjadi nomor dua. Dalam konflik politik yang justru sering menentukan adalah kemampuan untuk hadir secara de facto dalam lapangan politik. Kehadiran (omnipresence) dan kekuatan politik (omnipotence) justru yang lebih menentukan hasil akhir statu konflik organisasi. Maka jauh lebih baik adalah kompromi dan rekonsiliasi. Rekonsiliasi jauh lebih baik dari pada berkonflik di lapangan politik yang senantiasa cenderung untuk kuat-kuatan saja yakni siapa yang nafasnya panjang dan memiliki kemampuan logistik besar akan survive dalam perpecahan tersebut.

Walhasil, jalan rekonsiliasi adalah jalan yang mestinya dipilih. Semua pihak harus menekan egonya masing-masing, mau saling mengalah dan memberikan konsesi, berkehendak untuk mencari penyelesaian yang saling menguntungkan (win-win solution), menjauhkan pendekatan zero sume game, dan saling menghindarkan ada yang kehilangan muka (loosing face). Bukannya justru ego yang ditonjolkan, merasa benar sendiri, dan selalu mengutamakan pendekatan kekuasaan.(bersambung/ris)

tag: #Hajriyanto  #Golkar  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Zoom Lainnya
Zoom

Mengapa Jual Beli Jabatan Merupakan Modus Korupsi yang Populer?

Oleh Wiranto
pada hari Kamis, 06 Jan 2022
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap Walikota Bekasi Rahmat Effendi, pada Rabu (5/1/2022). KPK mengamankan 12 orang termasuk Wali Kota Bekasi Rahmat ...
Zoom

Anies dan Ridwan Kamil Akan Digugat Apindo, Ini Alasannya

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kini sedang berhadap-hadapan dengan pengusaha. Anies vs pengusaha ini terkait dengan keputusan Anies yang mengubah kenaikan UMP dari ...