CELAKALAH bangsa ini jika benar para pemimpinnya sudah kehilangan rasa kepemimpinannya. Jika itu yang terjadi, berarti negeri ini bakaldikendalikan oleh kekuatan di luar istana tempat sang pemimpin tinggal. Sebab, para pemimpin yang ada sudah dianggap tidak mampu lagi menjalankan roda kepemimpinan.
Tinggal orang-orang yang punya kepentingan dengan kepemimpinan itulah yang berusaha mempengaruhi sedang segala daya upaya agar sang pemimpin mau menuruti semua keinginan mereka. Ini berbahaya, sebab, keinginan yang sifatnya kelompok, apalagi individu, itu cenderung koruptif. Orang-orang itu bisa ada di lingkungan partai maupun dunia usaha, termasuk investor asing.
Barangkali, keadaan seperti itu dinilai Yudi Latif, yang oleh Kompas dijuluki sebagai pemikir kebangsaan dan kenegaraan, negara dalam sengkarut, sengkarut pikir. Para pemimpinnya diselimuti keragu-raguan.
Jika pemimpin tidak berani mengambil keputusan tegas, tapi selalu ragu-ragu, rakyat akan terombang-ambing. Berbahayanya, akan muncul upaya adu domba dan pertikaian di antara para pemimpin di level bawahnya maupun kalangan masyarakat di level grassroots (akar rumput).
Contoh sudah ada, paling tidak adanya polemik cicak (KPK) versus buaya (Polri) hingga jilid 3. Kasus lainnya, masih seringnya konflik di level prajurit TNI dan Polri. Di kalangan politisi, munculnya kelompok sempalan baik di DPR (DPR tandingan) maupun di Partai Golkar dan PPP.
Benar, Presiden Jokowi saat kampanye dulu mengobarkan perlunya revolusi mental. Ya, agar masyarakat dan bangsa Indonesia tidak lagi bermental buruh atau kuli yang selalu menunduk-nunduk jika berhadapan dengan orang asing.
Jika rakyat dan bangsa Indonesia selalu dihadapkan pada persoalan seperti itu terus-menerus, lantas kapan Indonesia bisa lepas landas menjadi bangsa yang kuat, makmur, berdaulatan di negeri sendiri, serta disegani di dunia internasional.
Apakah kita semua tidak malu, ketika bangsa lain yang kelas sosialnya selevel dengan kita sudah mampu memproduksi teknologi sendiri? Iran, misalnya, sudah mampu membuat sendiri dan meluncurkan satelit. India sudah mengekspor mobil dan motor ke Indonesia.
Indonesia bagaimana? Apa yang sudah diperbuat? Sikap koruptif dan mengeruk keuntungan sendiri tentu tak akan peduli negeri ini sudah bisa memproduksi apa, toh segalanya bisa dibeli atau diimpor. Yang penting berapa rupiah dan dolar bisa terus mengalir ke kantong sendiri.
Di sini, jiwa kepemimpinan Jokowi dengan konsep revolusi mentalnya diuji. Apakah hanya sekadar lips service untuk menutupi ketidakmampuannya dalam memimpin negeri ini? Dengan blusukan saja tidak cukup. Blusukan jangan hanya menyisakan kepedihan di hati masyarakat yang kehilangan mata pencaharian karena tempat tinggal dan usahanya digusur diganti mal-mal dan apartemen mewah.
Hasil blusukan semestinya membuahkan tingginya produktivitas dan naiknya daya beli hingga terwujudlah masyarakat yang makmur berkecukupan. Karena itu, blusukan harus ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tegas, serta menyelesaikan masalah secara adil yaitu win-win solution. (b)