Opini
Oleh Fuad al Athor (Pengurus PPSK DPP Demokrat) pada hari Kamis, 16 Apr 2015 - 14:54:14 WIB
Bagikan Berita ini :

Soal Subsidi BBM Hingga Ideologi Politik

16Fuad al Athor (fuad).jpg
Fuad al Athor (Sumber foto : Fuad al Athor)

Tak hanya sekali, orang-orang kepercayaan presiden Jokowi di kabinetnya jika sudah mendapatkan kesulitan dalam melaksanakan kebijakannya akan “mlipir” atau bahkan “balik kanan” untuk kemudian menyalahkan pada kebijakan-kebijakan presiden sebelumnya, SBY.

Kemarin, Selasa 14 April 2015 santer diberitakan Menteri ESDM Sudirman Said kembali menyatakan hal serupa. Beliau menerangkan angka 2600 T uang negara yang dihabiskan selama dua periode pemerintahan SBY hanya untuk dibakar. Sedangkan subsidi untuk pengembangan energi terbarukan, menurut beliau, sangat minim.

Oleh karenanya untuk mencapai keberhasilan dalam isu energi terbarukan ini sangat sulit. Penulis setuju terhadap pernyataan menteri ESDM ini, tapi bukan dalam konteks mendukung terhadap apa yang dimaksudkan dengan pernyataan tersebut. Persetujuan kami lebih tepatnya dalam rangka bahwa pergeseran-pergeseran kebijakan politik dari rezim sebelumnya ke bentuk kebijakan rezim hari ini, Jokowi-Jk memang perlu diferensiasi. Dengan begini, maka akan memperlihatkan sebuah kejelasan. Meskipun belum bisa dikatakan ini merupakan bentuk operasional dari ideologi politik masing-masing rezim, namun pembedaan di level cara merespons persoalan masyarakat sudah memperlihatkan arah ke sana.

Artinya, ideologi juga berdampak pada pemilihan solusi. Politik harus jelas, bagaimana sebuah ideologi tentang masyarakat dioperasikan sebagai cara mengatasi masalah. Bagaimana partai Demokrat dengan SBY-nya merespons persoalan dengan menggelar skema subsidi dan Jokowi dengan PDIP-nya kemudian mencabut subsidi harusnya menjadi perbedaan-perbedaan yang memberi kejelasan pada masyarakat bahwa ada opsi berbeda yang ditawarkan oleh masing-masing ideologi.

Berkaca pada ciri-ciri umum politik di Amerika Serikat, di mana partai Demokrat lebih cenderung mengembangkan skema subsidi dan partai Republik yang lebih memilih opsi-opsi mendorong maksimalnya pergerakan kapital atau kinerja swasta untuk menghidupi ekonominya. Demokrat dikenal dengan pengembangan skema subsidi masyarakat menengah ke bawah melalui kebijakan-kebijakan perlindungan sosial, misal Obama Care, peningkatan pajak pada orang-orang berpunya dan paling nyata adalah kebijakan bail out untuk menutupi krisis yang sempat mendera mereka. Hal begini akan mendapatkan respons yang berbeda jika yang memerintah berasal dari partai Republik. Mereka akan menghapus kewajiban pajak tinggi yang membebani pengusaha-pengusaha serta mengurangi campur tangan negara di sektor-sektor yang bisa dikerjakan oleh swasta. Mereka percaya pasar memiliki kepintarannya sendiri untuk mengatasi persoalan kesejahteraan dan kemiskinan, berikan saja ruangnya dan jangan diintervensi.

Perbedaan mendasar inilah yang selama ini menggerakkan bandul politik dalam negeri AS -dus, juga bisa mempengaruhi konstelasi global sebab posisinya yang adidaya. Bedanya di sana, negara sejak awal jelas didasarkan pada pengertian paling modern dari kapitalisme, sehingga konservatisme di sana artinya adalah berpegang teguh pada nilai-nilai kapitalisme ini. Sebaliknya, liberalisme politik memiliki pengertian dibukanya peluang dipraksiskannya ideologi-ideologi di luar kapitalisme, seperti sosialisme demokratik –yang selama ini sering diidentifikasi sebagai salah satu faksi di partai Demokrat.
Baru-baru ini, setelah mantan menteri luar negeri AS Hillary Rodham Clinton menyatakan kesiapannya untuk maju sebagai capres dari partai Demokrat meneruskan Obama, isu pertama yang langsung ditembakkan adalah soal ketimpangan yang mencolok antara pendapatan para CEO dibanding dengan para karyawan yang menurutnya mencapai angka 300 kali lipat. Menarik! sebab pertama, tekanan dari mereka yang disebut “sayap kiri” dalam partai Demokrat ini menjadi bunyi-bunyian pertama yang digunakan bakal calon capres tersebut, sangat tipikal dan bahkan ideologis, bahasa kitanya sangat demokrat!

Kedua, penentuan isu yang memiliki sasaran jelas dari konstituen tradisional partai Demokrat yang notabene –secara demografis, kebanyakan adalah masyarakat menengah ke bawah, rata-rata lulusan SMA ke bawah, multi etnik dan berprofesi sebagai buruh atau pekerja bukan pemilik modal.

Ketiga, terlihat betapa pembeda itu penting. Perbedaan itu adalah dasar dari pengembangan program-program politik. Tak ada taktik abu-abu jika sudah urusan ideologis. Justru dengan ideologinya, sang bakal calon merasa konfiden untuk memberikan solusi pada persoalan-persoalan bangsa.

Perbedaan perspektif yang lahir dari ideologi melahirkan tawaran solusi yang berbeda pula. Soal rakyat pilih yang mana, di sana letak kedewasaan politik masyarakat. Perbedaan mendasar dari karakter politik Indonesia adalah tidak adanya ciri yang memiliki pembeda yang jelas. Bahkan sering kita temui upaya-upaya mengaburkan diri untuk tak teridentifikasi pada salah satu karakter yang tipikal dari ideologi tertentu. Sebagai strategi mungkin bagus namun sebagai bagian dari upaya menjernihkan masa depan politik Indonesia jelas hal tersebut hanya merusak frame kesadaran politik masyarakat.

Kembali ke persoalan subsidi BBM di Indonesia, terbaca sekarang bahwa pemerintah yang sedang mendapatkan kesempatan emas dengan anjloknya harga minyak mentah ke level terendah selama enam tahun terakhir mengambil opsi untuk benar-benar mencabut subsidi. Semua penganut neoliberalisme menganjurkan itu. Mereka berpikir bahwa pasar harus diberikan keleluasaannya untuk menentukan harga di pasar, termasuk harga minyak. Namun, menyerahkan harga pada mekanisme pasar bukan hanya persoalan konstitusional yang layak diperdebatkan namun juga persoalan ekonomi masyarakat luas yakni tentang daya beli.

Inilah yang sesungguhnya dijaga dengan kebijakan subsidi BBM tersebut. Dengan belum siapnya strategi dan implementasi industrialisasi yang mampu memberi pekerjaan hingga masyarakat memiliki daya beli yang kuat, maka memberikan subsidi BBM menjadi penting untuk menjaga perputaran ekonomi. Akibat turunannya adalah apa yang dialami oleh pemerintah baru-baru ini, yaitu turunnya pendapatan pajak pada satu kuartal pertama dibanding tahun lalu.

Salah satu porsi yang cukup besar dari jenis-jenis pendapatan pajak adalah PPN. Pendapatan dari PPN (khususnya di empat jenis pajak ini mengalami kontraksi cukup besar, yakni PPN impor minus 7,99 persen, PPnBM dalam negeri negatif 5,91 persen, PPnBM impor anjlok 29,24 persen, dan PPN/PPnBM lainnya merosot 55,44 persen) jelas akan turun seiring turunnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga-harga barang-barang mengiringi kenaikan harga BBM.

Penerimaan negara yang dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selama periode Januari-Maret 2015 (kuartal I) sebesar Rp 198,2 triliun atau baru 15,3 persen dibandingkan dengan target yang dibebankan tahun ini Rp 1.294,2 triliun. Realisasi tersebut mengalami penurunan 5,6 persen dibandingkan pendapatan kuartal I 2014 yang mencapai Rp 210 triliun.

Membaca kebijakan bukan soal salah dan benar. Pemerintah hari ini hanya sedang mengimplementasikan keyakinan ideologi politiknya sebagai cara untuk mengatasi persoalan. Begitu juga rezim sebelumnya. Namun, semua yang dilaksanakan tersebut bisa diukur dari segala aspek termasuk outcome-nya. Kalau tak berhasil mengapa harus dipilih? Itulah simpulan politisnya. Jadi, apa yang sudah dilakukan SBY harus dipandang sebagai kesatuan yang utuh dari semua kebijakannya. Dan terhadap pemerintahan ini, kita masih memiliki waktu panjang untuk memeriksa “jenis kelamin” kebijakannya, mengukurnya serta menilainya. Dan harapan penulis adalah kita akan melihat keduanya akan saling memperjelas posisi satu sama lainnya. Siapa yang di mana. Siapa yang melakukan apa.(yn)

*Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan (PPSK)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #harga bbm  #subsidi bbm  #bbm naik  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 79 - SOKSI
advertisement
HUT RI 79 - ADIES KADIR
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Hashim Djojohadikusumo dan Masa Depan Pribumi di Indonesia

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Minggu, 13 Okt 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Hashim Djojohadikusumo (HDj) sebenarnya sangat ideologis dan memukau ketika berbicara di hadapan pengusaha properti beberapa hari lalu di Jakarta. Ideologis artinya dia ...
Opini

Simbol "Tali Gantung" Untuk Jokowi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Apapun narasinya apakah "Lengserkan Jokowi", "Tangkap Jokowi", "Adili Jokowi" atau lainnya simbol yang paling pas adalah "Tali ...