Opini
Oleh Bambang Wiwoho pada hari Minggu, 30 Sep 2018 - 11:10:17 WIB
Bagikan Berita ini :

Jenderal Yoga Tentang Sikon Menjelang G30S (3): Perang Urat Syaraf

16bambangwiwoho.jpeg
Bambang Wiwoho (Sumber foto : ist)

Dalam peperangan, baik perang fisik maupun non fisik, dikenal ada suatu divisi dan sekaligus senjata perang yang disebut perang urat syaraf. Yaitu suatu bentuk perang dalam menggalang opini objek sasaran agar menjadi dan mengikuti apa yang diinginkan. Perang urat saraf ini sudah ada semenjak zaman kerajaan kuno, bahkan secara substansi sudah ada semenjak awal peradaban manusia, sejalan dengan perasaan kejiwaan manusia.

Perang urat syaraf berkembang sesuai zaman dan perkembangan teknologinya, semakin lama semakin canggih dan semakin banyak varian dan metodenya. Dalam bahasa yang sederhana, perang urat syaraf adalah propaganda ofensif menggunakan segala cara dan media dari sesuatu pihak guna mempengaruhi dan menggalang kondisi psikologis, pikiran, sikap, dan pada akhirnya perbuatan dari masyarakat maupun pihak yang menjadi target sasaran. Oleh sebab itu perang urat syaraf bisa berupa penyesatan opini serta manipulasi data dan fakta.

Di zaman kerajaan Majapahit, perang urat syaraf dilancarkan Gajah Mada dengan menghembuskan bahwa Raja Jayanegara telah wafat di persembunyiannya, guna mengetahui reaksi masyarakat luas dan para elite kerajaan Majapahit. Dengan itu bisa diketahui siapa kawan siapa lawan. Padahal Raja Jayanegara masih sehat walafiat.

Pada pra dan saat berlangsungnya Gerakan 30 September oleh Dewan Revolusi, hawa perang urat syaraf dalam berbagai bentuk dan modelnya sangat keras menerpa. Aneka penyesatan informasi dan framing atau penggalangan serta pembingkaian opini bisa dirasakan, tetapi sulit dibuktikan. Akibatnya masyarakat mudah bingung, terombang-ambing antara isu yang satu dan yang lain.

Salah satu perang urat syaraf yang sedang berlangsung tatkala Yoga baru tiba kembali di tanah air awal Februari adalah kasus pro kontra Badan Pendukung Soekarnoisme, disusul gelombang anti Amerika Serikat, dan pengusiran William Palmer, kemudian penemuan dokumen Gilchrist, istilah dan seruan Ganyang Kapitalis Birokrat—Setan Kota dan Setan Desa, Kebudayaan Setan, Ideologi Setan, isyarat Senam Revolusioner, Ibu Pertiwi Hamil Tua, dan lain-lain.

Kelak, kita mengetahui dari pengakuan agen intelijen Cekoslovakia, Ladislav Bittman yang bekerja sama dengan intelijen Uni Soviet, menggalang perasaan dan gerakan anti Blok Barat khususnya Amerika Serikat di berbagai belahan bumi termasuk Indonesia. Di Indonesia dilancarkan apa yang disebut Operasi Palmer dan penyebaran dokumen palsu Gilchrist. Kedua, operasi ini semula berjalan baik sesuai scenario mereka, tetapi pada ujung akhirnya gagal dan berbalik menjadi bumerang lantaran PKI berpaling dan mengikuti skenario Beijing (Ladislav Bittman,The Deception Game, Syracuse UniversityResearch Corporation 1972).

Untuk mengelola isu-isu perang urat syaraf tersebut, dalam struktur organisasi PKI dibentuk bagian yang khusus menangani agitasi dan propaganda yang sangat dikenal dengan nama Agitprop (Agitasi dan Propaganda) yang didukung oleh berbagai media massa baik yang resmi sebagai alat organisasi maupun simpatisannya.

Pada 1 Oktober 1965 tatkala G30S meletus, Dewan Revolusi sangat memahami peranan propaganda seperti itu. Oleh karena itu di samping melakukan penculikan Jenderal-Jenderal, mereka juga menduduki serta menguasai Gedung Pusat Telekomunikasi dan Radio Republik Indonesia (RRI).

Siaran pertama Dewan Revolusi diumumkan pertama kali pada sekitar jam 07.20, yang menyatakan telah melancarkan Gerakan 30 September guna membersihkan dan menangkap Jenderal-Jenderal anggota Dewan Jenderal.

Agak siang, beredar radiogram Perintah Harian Menteri/Panglima Angkatan Udara Omar Dhani yang dikeluarkan pukul 9.00 pagi, untuk mendukung G30S. Isinya:

“Pada tanggal 30 September 1965 malam telah diadakan Gerakan oleh G30S 1965, untuk mengamankan dan menyelamatkan revolusi terhadap subversi CIA. Dengan demikian telah diadakan pembersihan dalam tubuh Angkatan Darat daripada anasir-anasir yang didalangi oleh subversi asing dan yang membahayakan revolusi Indonesia. AURI akan menyokong gerakan tersebut. Diperintahkan kepada kesatuan-kesatuan AURI untuk tetap waspada.”

Siaran RRI kedua berlangsung antara pukul 11.00 sampai 12.00, berupa Pengumuman Presiden yang disampaikan oleh Komandan Resimen Cakrabirawa Brigjen Sabur, yang menyatakan Presiden Soekarno dalam keadaan sehat walafiat dan tetap menjalankan pimpinan negara. Pengumuman tersebut diulang-ulang dan disusul dengan pengumuman tentang Dewan Revolusi. Pukul 14.00, pengumuman pembentukan Dewan Revolusi diulang, disusul dengan susunan Anggota Dewan Revolusi.

Jam 18.30 RPKAD lewat radio komunikasi melaporkan ke markas Kostrad bahwa RRI dan Telkom telah berhasil direbut kembali. Dengan segera Kepala Penerangan Angkatan Darat Brigjen Ibnu Subroto dan Brigjen Soegandhi dengan truk RPKAD menuju RRI serta mengumumkan pengambilalihan RRI oleh Pimpinan AD dan menyatakan bahwa G30S adalah kontra revolusioner. Diumumkan pula bantahan pencantuman enam nama jenderal yang sebelumnya telah diklaim oleh Dewan Revolusi sebagai anggotanya. Enam orang itu tidak tahu menahu serta menolak namanya dicantumkan dalam Dewan Revolusi. Mereka adalah Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Machmud, Mayjen Umar Wirahadikusuma, Brigjen Solihin, Brigjen Ryacudu, dan Brigjen Andi Rivai.

Terhadap media cetak, Markas Kostrad pun bergerak cepat. Pada sore itu pula, Pangdam Jaya Umar Wirahadikusuma dengan surat perintah No: 01/Drt/10/1965 melarang semua penerbitan tanpa izin khusus kecuali Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Juga diperintahkan untuk segera menguasai semua perusahaan percetakan, kecuali yang mencetak Berita Yudha di Gang Gelap Kota dan pencetak harian Angkatan Bersenjata di Petojo. Di percetakan kedua media tadi justru dilakukan pengamanan fisik yang kuat.

Meskipun demikian, koran PKI Harian Rakyat pada hari Sabtu 2 Oktober masih sempat terbit dengan dukungan terhadap G30S. Demikian pula HR Minggu yang sudah beredar Sabtu sehari sebelumnya.

Pada malam hari itu pula, kelompok penerbitan Merdeka memperoleh izin untuk menerbitkan harian sore API, yang baru bisa mulai terbit 6 Oktober. Izin terbit juga diberikan terutama ke berbagai media massa yang pada bulan Februari 1965 diberangus.(B.Wiwoho: Nomer 3 dari 5, dikutip dari buku: Jenderal Yoga, Loyalais di Balik Layar halaman 76 – 79).

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...