Opini
Oleh Soemantri Rio Hassan (Analis Politik dan Kebijakan Publik Penggagas Institute Dialektika Madani) pada hari Selasa, 09 Apr 2019 - 08:56:34 WIB
Bagikan Berita ini :

Memahami Sri Sultan Hamengkubuwono X

tscom_news_photo_1554776718.jpg
Gubernur DIY dan Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono X (Sumber foto : ist)


Sri Sultan Hamengkubuwono X (Selanjutnya Sri Sultan) mengambil resiko politik dengan menolak halus capres 01 dan rombongannya. Padahal di dalam rombongan petahana beserta mantan presiden Megawati ternyata hanya dijamu putri tembayun.

Dan sebaliknya menerima langsung sowan Prabowo Subianto Capres 02 beserta rombongan.Beberapa analis melihatnya dengan menyederhanakan masalah dengan satu kosa kata,aura, dan diamini warganet. Tapi lumayan lah ketimbang dengan singkatan.

Menelisik Di Balik Aura

Tulisan ini melengkapi analisis sebelumnya yang lebih menyoal gaya komunikasi politik petahana dalam tulisan, Bencana Komunikasi Petahana: "Saya Akan Lawan" yang dimuat di portal berita rakyat merdeka.

Dalam tahun politik, kita memang harus banyak memahami peristiwa tak terduga atau manuver dari pelaku politik. Ada tiga aktor politik utama menurut tipologi Dann Nimmo: Elit, Pers dan Aktivis. Ketiganya saling memainkan persepsi.

Wacana Publik lebih banyak dimonopoli, bahkan boleh jadi dimanipulasi oleh ketiga aktor di atas. Termasuk soal,aura, yang akan saya coba telisik lebih jauh. Dengan dua asumsi dasar apa motif Sri Sultan dan mengapa.

Perang total yang diucapkan Moeldoko sejatinya perang persepsi di benak publik. Perang persepsi timbul dari ketidakmampuan masing masing pihak memaknai fakta. Karena persepsi tidak akan mengubah fakta itu sendiri. Tapi persepsi mengubah kita memaknai fakta. (Peter F Drucker,1980)

Dalam kasus Jogja dan Sri Sultan misalnya. Adalah fakta peristiwa politik itu telah terjadi dan dipersepsikan di benak publik ada penolakan halus (tidak total) karena masih disambut dan diantar puteri tembayun sowannya petahana dan rombongan.

Berbanding terbalik dengan diterimanya Capres 02 langsung oleh Sri Sultan bahkan diabadikan di suatu ruang tamu sebagaimana beredar luas di medsos. Bahkan sebelumnya beredar luas foto Cawapres 02 berjabat tangan erat dengan Sri Sultan.

Apa makna di balik fakta-fakta di atas? Aura? Aura tidak menjelaskan secara akal sehat. Jika aura yang dimaksud anggapan umum, energi negatif atau positif bisa turun kelas akal sehat kita. Rocky Gerung alias Roger pasti protes total.

Lalu apa penjelasan akal sehatnya? Sebelum saya lanjutkan, harus saya perikan. Jujur saya bukan sekaliber Roger menyoal ini. Mungkin saya "murid" nakalnya yang keberatan ada gejala pembodohan jika kita kita maknai sebatas aura.

Ada dugaan seraya tidak terkatakan dari peristiwa tak terduga ini adalah perjalanan batin Sri Sultan yang panjang. Kalau meminjam gaya komunikasi Anies Baswedan. Apa yang terjadi di DKI sepertinya terjadi di Jogja. Perjalanan batin yang panjang dari tahun 2004 hingga 2012.

Perjalanan batin yang panjang martabat Sri Sultan sebagai raja djawa digoyang elit senayan perihal perumusan RUU KeistimewaanYogyakarta. Dan uniknya pasca disahkan seketika dianulir kembali oleh Mahkamah Kosntitus i(MK).

Meminjam bahasa Sri Sultan, sudah diputuskan MK, dihormati namun sepakat untuk tidak sepakat. Artinya sampai saat ini, Yogyakarta satu satunya propinsi yang status pemerintahan berjalan dengan tanpa landasan UU. Sejak diketuk palu MK maka kembali ke RUU. Logika politik hukumnya begitu.

Dan itu dibiarkan pula selama rezim petahana selama memimpin. Mungkin petahana tidak dibisiki yang baik sejarah Yogyakarta dan mengapa status Keistimewaannya itu melekat pada Jogyakarta.

Selain itu, kita sama sama tahu berbeda dengan Capres 02. Petahana kampanye dulu baru sowan malam hari pula. Ditambah lagi blundernya petahana, dalam orasinya curhat yang reaktif sebagai pemimpin sebuah negara besar. Dari akumukasi peristiwa politik di atas yang sekiranya Sri Sultan mengambil sikap.

Petahana harusnya punya kesempatan selama 4,5 tahun memimpin republik menggali sejarah awal pemberian -Daerah Istimewa- bagi Yogkarta. Karena menurut diskusi dengan aktivis Malari Bang Ciu yang sempat dialog dengan pelaku sejarah dan tokoh bangsa sekaliber Almarhum Natsir mengatakan pemberian Daerah Istimewa adalah kontrak politik para founding person dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Jika Almarhum Natsir tokoh bangsa yang berjasa menyatukan republik dengan Mosi Integralnya sangat mengagumi keluruhan budi baik Sri Sultan Hamengkubowono IX pada republik ini. Akan panjang jika kita ulas dari sisi budi baik Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Aura atau energi negatif yang dimaksudkan mungkin penjelasan akal sehatnya secara gamblang adanya tuna sejarah. Karena sejarah mengajarkan bijaksana. Wacana Publik yang menggugat Keistimewaan Yogyakarta terus berulang.

Aktor dalam hal kisruh ini ternyata elitnya itu itu juga. Bahkan di daerah daerah lain menurut "kultum online " ala Fahri Hamzah menyatakan fakta pada fungsi kerajaan kerajaan di Indonesia telah hilang dan unik ada daerah yang dulunya kuat sosilogis kerajaannya kini hilang elan vitalnya. Karena sang Raja tiyang ditempat sebagai pegawai BUMN atau hanya kepala dinas.

Jik kita tarik peristiwa demi peristiwa politik ini terjadi antara 2003 sampai sekarang. Bisa ditebak sendiri. Elitmya itu itu juga. yang tidak suka agama dan kerajaan ada dalam demokrasi karena tidak compatible. Menurut logika elit tersebut. Padahal demokrasi bisa compatible pada sistem apapun.

RRC saja yang anggapan umum komunisme tua hanya tinggal bendera saja. Karena pada prakteknya RRC lebih kapitalis dari mbahnya kapitalis, Amerika Serikat. Elit elit yang tuna sejarah biasanya mau menang sendiri akhirnya malu sendiri.

Kini nasi sudah menjadi bubur. Diaduk atau tidak diaduk bubur itu, emosi masyarakat Jogjakarta tak terbendung pada saat kampanye terbuka 08 April 2019. Kita semua menyaksikan luapan massa hadir di tempat yang sama petahana mencurhatkan dirinya di stadion krisdiono.

Akal sehat dan kedunguan memang menular. Namun akal sehat yang pasti keluar ssbagai pemenang. Resiko sudah dihitung Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan sikapnya. Karena ia ingin menjalankan pemerintahannya dengan tenang dan mantap sesuai visi misinya yang ia sampaikan di saat pelantikan 2012 dengan orasi berjudul ,"Menyongsong Abad Samudera Hindia untuk Kemuliaan Martabat Manusia Jogja". Kapasitas Sri Sultan dari judul orasi pidatonya, rakyat Jogja beruntung memiliki pemimpin yang sangat berkelas dan intelektual.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pilpres-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Jews Hunt

Oleh Ahmadie Thaha (Pengaruh Pesantren Tadabbur al-Qur'an)
pada hari Minggu, 17 Nov 2024
Kamis, 14 November 2024, menjadi saksi dua dunia sepak bola yang kontras. Di Tanah Air, Liga 2 bergulir dengan tensi tinggi saat Persipura melawan Rans Nusantara. Sementara itu, di Amsterdam, ...
Opini

Said Didu, Simbol Perlawanan Terhadap Oligaki

Said Didu adalah salah seorang yang cukup langka di negeri ini. Sosok dari kelas menengah mapan ini terus mengambil bagian untuk bangsa ini dengan caranya yang kritis, bernyali dan sangat ...