JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Dikotomi antara negara agama dan negara sekuler merupakan perdebatan panjang dalam sejarah politik kenegaraan. Beberapa negara dunia memilih salah satu dari keduanya untuk melegitimasi asas negara sebagai titik tolak menggerakkan roda peradaban.
Di Timur Tengah, negara dengan basis politik kegamaan secara ijtihad telah direpresentasikan bangsa Iran sejak 1979 dengan konsep Wilayatul Faqih. Tatanan negara yang muncul kemudian memposisikan para ulama yang memiliki kriteria tertentu sebagai pemegang tampuk kepemimpinan tertinggi.
Sementara corak negara sekuler, meski tak sedikit dipraktikkan negara-negara Timur, representasi besar sering mengarah pada negara-negara barat, utamanya Amerika Serikat. Dalam konteks sekularisme, jamak dipahami bahwa sebuah negara tak memasukkan unsur-unsur agama ke dalam sistem pemerintahan. Singkatnya, Agama dilarang untuk ikut campur dalam aspek-aspek kehidupan dunia manusia.
Kedua sistem negara tersebut dianggap mempunyai hak untuk diterapkan di Indonesia. Oleh karenanya, masyarakat sering jatuh pada perdebatan yang meninjau sejauh mana efektivitas agama dan sekularisme menjadi paradigma NKRI. Tarik ulur perdebatan ini, agaknya, bukan sesuatu yang sudah berhenti dibicarakan dalam sebuah negara yang memikul beragam suku, agama, dan budaya.
Ilustrasi
Deputi Bidang Pengkajian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Muhammad Sabri, tak menampik persoalan tersebut masih menjadi buah bibir di ruang publik. Hal ini karena prinsip-prinsip dalam agama dan sekularisme menyangkut sesuatu yang fundamental bagi kehidupan manusia.
Namun, Sabri mengingatkan, bahwa Indonesia tidak mendeklarasikan salah satu dari kedua entitas universal tersebut menjadi basis sistem negara. Indonesia, kata Sabri, tidak menjadikan keduanya secara dikotomi sebagai ideologi tunggal.
"Kita memang sering terjebak pada kategorisasi teoritik. Bahwa negara itu ada dua, kalau bukan negara sekuler, pasti negara agama. Padahal, kita di Indonesia ini bukan keduanya," kata Sabri kepada TeropongSenayan beberapa waktu lalu dalam Simposium Nasional Studi dan Relasi Lintas Agama Berparadigma Pancasila (SIGMA) di UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Serang.
Sabri menjelaskan, agama Islam yang mayoritas dipeluk masyarakat tak meniscayakan Indonesia menjadi negara agama dengan sistem syariat Islam. Sebaliknya, sistem demokrasi dengan beragam aspek politiknya yang dianut tak bermakna bahwa Indonesia adalah negara sekuler.
Indonesia yang heterogen menurut Sabri justru lebih aksiomatis mengadopsi sebuah paradigma yang tak berpihak pada entitas kelompok tertentu namun dapat merangkul kemajemukan. Sebuah kontrak sosial yang dengannya kelompok agama atau suku manapun tak bisa mendaku sebagai pemegang otoritas yang berhak menentukan keyakinan orang lain. Asas tersebut adalah Pancasila.
Dengan landasan Pancasila, Sabri menerangkan, Indonesia tak lagi disebut negara agama atau sekuler. Justru, agama dengan kesakralannya dijunjung tinggi dalam Pancasila. Tinggal bagaimana nilai-nilainya terejawantah dalam perilaku sehari-hari secara berkesinambungan.
"Kita bukan negara sekuler, karena kita punya karakteristik religius. Kita bukan juga negara agama yang hanya mengakui agama tertentu. Jadi kita ini negara, yang memposisikan agama sebagai basis etik dan moral dalam penyelenggaraan negara," jelas Sabri.
Perilaku sendiri merupakan cermin kesadaran dan keterikatan kepada sebuah prinsip, bukan simbol dan klaim semata. Untuk itu, Pancasila merupakan prinsip yang menentukan perilaku warga negara tidak menyimpang dari nilai-nilai luhur agama dan budayanya.
Menurut Sabri, Pancasila bisa dilihat dengan simbolik dan ideal. Simbolik berarti apapun yang menandainya hanya sebagai bentuk kemasan. Sementara ideal berarti mengamalkan norma-norma dan cita-cita yang tersimpan di balik simbol tersebut.
Simbol diungkap dengan tanda-tanda dan ragam ekspresi penghormatan visual, verbal dan seremonial. Sedangkan ide diungkap dengan koherensi sikap dan tindakan atau perilaku.
Pada masa orde baru, Pancasila yang ditafsirkan secara tunggal diekspresikan secara simbolik dalam skala luas dengan pola represif semata. Namun, saat ini banyak masyarakat, yang mungkin dulu menolak Pancasila karena dipaksakan dan dipuja sebagai simbol semata, mulai menerimanya karena kesadaran akan relevansi nilai-nilai yang dikandungnya.
Dalam SIGMA yang digelar BPIP tersebut, Pancasila hendak dijadikan tidak hanya bertumpu pada euforia simbolik, apalagi hanya sekadar dijadikan ideologi pajangan. Namun, kata Sabri, pihaknya bersama sejumlah instansi pendidikan akan mengupayakan Pancasila dari setiap segi nilainya terkonversi dalam tatanan kehidupan, bahkan mengaplikasikannya menjadi sebuah teori dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Dalam konteks agama yang menjadi nilai utama dalam Pancasila, BPIP akan mendorong agama tak hanya sebagai basis etik yang bersifat konsepsi, namun menjadi asersi yang nyata terjalankan dalam roda penyelenggaraan negara.
"Kalau hanya sekedar basis etik, dia tidak punya daya perubahan yang kuat, maka kita institusionalisasi, kita lembagakan ini bahwa agama itu basis etik dalam penyelenggaraan negara, maka diundangkanlah tokoh agama, berbagai akademisi lintas agama untuk merumuskan hal ini," kata Sabri.