JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengubah Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perubahan bentuk izin ini memberikan sinyal dari pemerintah untuk memperpanjang kelangsungan usaha PT Freeport Indonesia selama 20 tahun untuk menggarap tambang tembaga di Papua.
Menanggapi perubahan KK tersebut, anggota Komisi VII DPR, Kurtubi menilai kemauan PT Freeport untuk tunduk pada peraturan yang berlaku di Indonesia sebagai hal yang positif. Hanya saja di sisi lain ia juga memandang semakin mendesaknya perubahan Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
“Ada sedikit kemajuan dimana pihak Freeport sudah menerima bahwa kontrak karyanya diganti dengan izin usaha pertambangan khusus. Artinya pemerintah tidak lagi sebagai para pihak yang berkontrak, tapi pemerintah memberikan izin kepada Freeport dengan IUPK. Pemerintah memiliki kewenangan dan kekuasaan mencabut izinnya suatu saat,” ujar Kurtubi, pekan lalu.
Soal UU No 4/2009, Kurtubi menilai UU itu dapat mengurangi potensi penerimaan negara. Pasalnya dalam UU tersebut tidak dijelaskan mengenai kontrol pemerintah terhadap seluruh operasional perusahaan pertambangan yang sarat dengan manipulasi.
Ia mengambil contoh soal pembelian dan pemasokan alat-alat tambang yang tidak wajar, atau secara internal dipasok oleh perusahaan mereka sendiri. Menurutnya hal ini tidak dapat kita ketahui karena mekanismenya tidak diatur dalam IUPK dan kontrak karya. Padahal, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahan tambang merupakan salah satu faktor pengurangan pajak dan royalti yang dapat diterima negara.
Oleh karenanya, ia mendesak segera dilakukannya revisi terhadap UU No 4 Tahun 2009. Ini guna mewujudkan cita-cita negara dalam UUD Pasal 33, bahwa seluruh kandungan bumi dan air dan kekayaan alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dengan demikian, perubahan kontrak Freeport dari KK menjadi IUPK diakuinya, bukanlah solusi jika negara ingin mendorong penerimaan dari kekayaan alam yang tinggi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“IUPK itu bukan jawaban untuk memperbaiki penerimaan negara. Perbaikan undang-undang ini harus sedekat mungkin dengan UUD pasal 33,” jelasnya. (iy)