JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno terus mendapatkan sorotan. Ini tidak lain karena kebijakan-kebijakannya yang kontroversial.
Teranyar, Rini melakukan utang ke Bank China senilai US$ 3 miliar, atau sekitar Rp 42 triliun. Untuk memuluskan langkahnya, Rini membawa direktur utama dari tiga bank BUMN ke Beijing, Tiongkok, untuk menandatangani perjanjian utang dengan CBD. Ketiga bank tersebut adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI).
Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto mengatakan, dalam waktu tujuh bulan, BUMN sedang dan akan mendistribusikan 102 triliun untuk penyertaan modal nasional (PMN) yaitu 63 triliun di APBNP 2015 dan 39 triliun di RAPBN 2016.
Menurut dia, keseluruhan BUMN tersebut mempunyai aset Rp 4.607,2 triliun. Namun hanya menghasilkan laba bersih Rp 131,7 triliun dan menyumbang deviden Rp 40,3 triliun dari 2000-2014 dan deviden yang belum terbayarkan ke negara Rp 500 triliun.
"Menteri Rini total menambah utang yang akan diberikan China adalah US$ 50 miliar, atau setara Rp 650 triliun dengan asumsi kurs US$ 1 sama dengan Rp 13.000," ujarnya, Rabu (23/9/2015) lalu.
Dalam masa kepemimpinan Rini Soemarno, uang negara untuk PMN meningkat tinggi tetapi tidak dibarengi dengan deviden ke negara. Justru yang terjadi, deviden menurun dan tidak transparan serta akuntabel.
"Ada potensi PMN BUMN dijadikan bancakan oleh elit pengusaha dan penguasa karena hingga kini transparansi dan akuntabilitasnya tidak jelas," tandasnya. (iy)
Menurut Fitra, ada potensi di masa depan ketergantungan hutang BUMN diubah menjadi shareswap atau tukar guling saham.
"Ini masalah menjual BUMN ke asing. Ada skenario, PMN ditingkatkan, lalu modal meningkat dan diprivatisasi oleh asing. Skenario lainya, privatisasi dengan cara utang luar negeri." (iy)