JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia menyoroti hasil evaluasi Kemendagri atas RAPBD DKI Jakarta Tahun Anggaran 2016 yang disampaikan beberapa waktu yang lalu.
Direktur KOPEL Indonesia, Syamsuddin Alimsyah mengatakan, hasil evaluasi Kemendagri tersebut lemah dan tidak konsisten.
"Harusnya domain evaluasi itu memperkuat singkronisasi kebijakan dan program perencanaan nasional ke daerah. Tapi ini malah abai dengan asyik bermain di angka-angka," kata Syamsuddin kepada TeropongSenayan, di Jakarta, Senin (18/1/2016).
Menurut Syam, sapaan akrab Syamsuddin Alimsyah, harusnya Kemendagri ikut mengawal Undang-undang (UU) kekhususan DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007.
Misalnya, dengan mengevaluasi, apakah APBD DKI sekarang konsisten dengan percepatan pencapaian RPJMD, yang akan berakhir tahun depan, namun masih setumpuk janji yang belum terpenuhi.
Termasuk juga apakah APBD Jakarta tercermin kebijakan sebagai daerah khusus.
"Jangan-jangan APBD ini sama saja daerah lain, tidak ada kekhususan. Jadi, dalam APBD itu harus tergambar Jakarta sebagai daerah khusus," tegas Syam.
Oleh karena itu, lanjut Syam, dalam melakukan evaluasi terhadap RAPBD DKI, Kemendagri perlu memperhatikan singkronisasi perencanaan tingkat nasional (RPJMN) dengan dokumen perencanaan daerah (RPJMD) dan capaiannya.
Mengingat, tahun 2016 merupakan tahun terakhir periode pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta.
Selain itu, harusnya Kemendagri juga perlu melakukan evaluasi dari beberapa fasilitas DPRD yang berpotensi masuk domain korupsi tapi nampaknya justru tidak dikritisi Kemendagri.
"Terutama yang berkaitan dengan hak protokoler dan keuangan DPRD," ungkap Syam.
Sebagai contoh hasil evaluasi Kemendagri terhadap RAPBD DKI Jakarta 2016, disebutkan anggaran tunjangan perumahan sebesar Rp 38,7 M, dan anggaran tunjangan komunikasi intensif pimpinanan dan anggota DPRD sebesar Rp 11,4 M.
Dimana dari catatan Kemendagri diminta untuk penentuan besarannya harus diperhitungkan kembali, dan disesuaikan dengan tetap memperhatikan aspek efektifitas, efisiensi, kewajaran, kepatutan, penghematan, dan rasionalitas besaran serta penggunaan anggaran dimaksud dengan mempedomani PP No. 24 Tahun 2004 dan perubahannya.
Syam menuturkan, Kemendagri perlu tegas apa boleh dianggarkan atau tidak. Kalau boleh berapa. Kemendagri juga harus baca regulasi produknya sendiri.
Menurutnya, aturan tunjangan perumahan itu bagi daerah yang belum ada, dan tidak mampu mengadakan perumahan dinas.
"Apa jakarta tidak mampu? Kemendagri harus tegas mengevaluasi disini. Juga tunjangan komunikasi ada regulasinya sesuai klaster keuangannya. Jadi bukan soal asas kepatutan tapi tunduk pada regulasi," imbuhnya.
Hal ini, kata Syam, membuktikan Kemendagri tidak punya tools yang kuat untuk mengevaluasi RAPBD.
"Evaluasi yang dilakukan selama ini cenderung hanya formalitas saja," kritik Syam. (mnx)