Opini
Oleh Bambang Wiwoho pada hari Rabu, 26 Sep 2018 - 10:50:16 WIB
Bagikan Berita ini :

Jenderal Yoga Tentang Sikon Menjelang G30S: Angkatan Kelima dan Perlawanan TNI-AD

72Bambang-Wiwoho3.jpg.jpg
Bambang Wiwoho (Sumber foto : Istimewa)

Sejarah itu berulang. Maka tepatlah nasihat Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Bung Karno : “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Peringatan sekaligus nasihat tersebut dikemukakan Bung Karno pada pidato di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, 17 Agustus 1966, dan kemudian terkenal dengan singkatan Jasmerah.

Dalam rangka belajar dari sejarah itulah berikut ini saya kutipkan catatan yang di buat oleh Yoga Sugomo, seorang perwira intelijen tamatan Akademi Militer Jepang dan Pendidikan Intelijen Inggris yang amat bergengsi M-16, tentang suasana, situasi dan kondisi Indonesia khususnya Jakarta menjelang, selama dan sesudah peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Banyak saksi hidup, terutama sejumlah wartawan senior, yang menjadi sahabat penulis dewasa ini. Catatan Yoga Sugomo yang kemudian sempat menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara selama 15 tahun secara non stop terus-menerus, disampaikan kepada B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, yang selanjutnya diterbitkan oleh Penerbit Bina Rena Pariwara (1990) dan edisi revisi oleh Penerbit Buku Kompas (2018) dengan judul “Jenderal Yoga: Loyalis Di Balik Layar”, yang kali ini akan kami muat bersambung sebanyak 5 (lima) kali. Semoga berkah melimpah untuk kita bangsa Indonesia yang bersatu dalam damai dan sejahtera (B.Wiwoho).

Angkatan Kelima & Perlawanan TNI-AD.

5 Februari 1965, Yoga Sugomo tiba di Jakarta, setelah ditarik dari penugasan sebagai Atase Militer di Yugoslavia. Baru beberapa hari di tanah air, Yoga langsung merasakan sengatan suhu politik di Jakarta yang amat panas. Suasana perang dingin 3 pusat kekuatan dunia, yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet dan China, yang ia ikuti secara saksama selama bertugas di Yugoslavia,menjadi salah satu penyebabnya. Demonstrasi-demonstrasi terhadap Amerika Serikat, bahkan sudah menyasar ke kediaman Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard Jones.

Beberapa hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 23 Februari 1965, dalam rapat umum “Maju Tak Gentar” di Istora Senayan Jakarta, menyambut ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-19, Bung Karno meneguhkan keputusannya untuk menyetujui tuntutan media-media binaan PKI untuk memberangus media masa anti-PKI khususnya yang terlibat dalam Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS), sebagai tindak lanjut dari pembubaran BPS.

BPS adalah sebuah perkumpulan yang bertujuan melawan serta membendung pengaruh PKI terhadap Bung Karno yang semakin kuat, dengan jalan menggalang kekuatan nonkomunis, serta menyebarluaskan tulisan-tulisan yang mengangkat orisinalitas pemikiran Bung Karno. BPS diprakarsai antara lain oleh B.M. Diah, Adam Malik, Sayuti Melik, Sukowati, dr. Amino, Djoehartono, dan didukung secara tidak langsung oleh Menteri Penerangan Achmadi serta Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani. Atas desakan PKI, bersama PNI, Partindo, dan organisasi- organisasi massanya, pada tanggal 17 Desember 1964, Bung Karno membubarkan BPS.

Sehari setelah rapat umum “Maju Tak Gentar” tadi, Menteri Penerangan Achmadi menutup 21 media massa, disusul delapan media massa sebulan berikutnya. Tak pelak lagi, hal tersebut kian menyulut pertentangan dan menjadi bahan perbincangan yang luas. Penutupan media massa antikomunis tadi juga mendapat perlawanan dari para perwira tinggi Angkatan Darat dengan menampung sejumlah wartawan dari media-media yang diberangus untuk bekerja dalam surat kabar baru, yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata.

Sementara itu, organisasi-organisasi massa pendukung PKI sangat aktif melakukan aksi-aksi yang semakin memanaskan situasi. Pada tanggal 28 Februari, misalnya, sekelompok demonstran menyerbu tempat kediaman Dubes AS di Jakarta, Howard Jones. Disusul pada tanggal 1 April, demonstran menyerbu vila milik Willam (Bill) Palmer di Gunung Mas.

Palmer adalah manajer Gabungan Importir Film Amerika (Association of American Film Importers) yang dituding PKI sebagai agen Badan Intelijen Amerika Central Inteligence Agency (CIA). Ia juga menjabat sebagai Direktur American Motion Picture Association in Indonesia (AMPAI). Kampanye anti AMPAI juga dilakukan secara intensif dengan tuduhan bahwa Palmer melakukan kontak-kontak rahasia dengan sejumlah perwira militer Indonesia untuk kepentingan CIA.

Pada pertengahan Maret, sekitar 1.000 orang yang diyakini sebagai anggota organisasi mantel PKI menyerbu kantor AMPAI di Jakarta. Mereka menuntut agar kantor tempat Palmer bekerja itu ditutup.

Aksi tersebut mendapat dukungan internasional, khususnya dari Republik Rakyat China. Radio Peking (sekarang Beijing) dalam siarannya memuji langkah para penyerbu sebagai tindakan revolusioner. Radio itu menyatakan AMPAI merupakan alat subversi dan agresi imperialis di bidang kebudayaan untuk melemahkan revolusi Indonesia.

Sementara itu, gagasan mempersenjatai massa sukarelawan terus berlanjut. Hal tersebut jelas merupakan strategi PKI, yang mengharapkan bisa menangani pendistribusian senjata dari China. Massa yang bersenjata, apalagi bila terkonsentrasi di Jawa, akan sangat berbahaya karena sebagian besar pasukan Angkatan Darat sudah ditugaskan ke luar Pulau Jawa dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia, sehingga kekuatan riil AD di Jawa pada waktu itu tidak terlalu kuat, bahkan sesungguhnya lemah.

Pada aspek lain, dengan dalih mendukung dan mensukseskan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), PKI berhasil menancapkan pengaruhnya yang semakin besar. PKI bahkan mampu memojokkan partai-partai politik lainnya, di samping melakukan konfrontasi langsung terhadap sejumlah ormas yang menjadi lawannya, seperti SOKSI yang didukung oleh TNI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), dan para budayawan yang bergabung dalam kelompok Manikebu.

Usul Asmu untuk mempersenjatai massa rakyat kemudian dipertegas lagi oleh Ketua Umum Central Commite Partai Komunis Indonesia (CC-PKI), D.N. Aidit. Dalam sebuah pidatonya pada bulan Februari 1965, ia menekankan perlunya pembentukan Angkatan Kelima yang bersenjata. Ia juga mengusulkan agar di setiap angkatan (Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian) dibentuk Komisaris Politik. Lembaga itu akan bertanggung jawab sepenuhnya dalam membina ideologi, doktrin, dan ajaran perjuangan bagi setiap prajurit.

Presiden Soekarno, pada tanggal 28 Mei 1965 mengemukakan kepada para Panglima Militer bahwa ia menemukan bukti-bukti mengenai rencana Nekolim (Neo Kolonialisme) untuk membunuhnya. Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Dr. Subandrio dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, katanya, juga termasuk tokoh yang menjadi sasaran pembunuhan. Bila rencana tersebut gagal, tentara Nekolim (maksudnya Inggris dan Malaysia) akan menyerbu Indonesia dengan bantuan kaki tangan mereka.

Sejak pernyataan Presiden Soekarno itu, beredar desas-desus di Jakarta mengenai adanya Dewan Jenderal yang anggotanya terdiri atas sejumlah perwira tinggi AD yang tidak loyal kepada Bung Karno. Seperti bunyi pepatah Jawa, ”sedawa-dawane lurung, isih dawa gurung.” Artinya, betapa pun panjangnya lorong, masih tetap lebih panjang kerongkongan yang menghasilkan desas-desus, pergunjingan, dan sejenisnya. Demikianlah, desas-desus tersebut semakin santer dengan adanya dokumen yang menyebutkan sekelompok perwira AD akan membantu pasukan Inggris dan AS menyerbu Indonesia.

Menurut Yoga Sugomo, diperkirakan atau patut diduga, dengan maksud memperoleh liputan internasional, Menlu/Kepala BPI Subandrio memberitahukan penemuan dokumen bertanggal 25 Maret 1965 itu kepada wartawan surat kabar Al Ahram di Kairo. Dokumen tersebut, katanya, berupa surat Dubes Inggris di Jakarta, Gilchrist, yang ditujukan kepada Sekretaris Muda Kementerian Luar Negeri Inggris, Sir Harold Casia.

Beberapa Jenderal yang didesas-desuskan tidak loyal kepada Bung Karno itu yang juga diisukan menjalin kerja sama dengan pihak asing. Desas-desus yang berbau tuduhan itu, bila dibiarkan, hanya akan menyeret konfrontasi yang lebih jauh dengan Malaysia, suatu keadaan yang sama sekali tidak diinginkan karena hanya akan menguntungkan strategi PKI. Namun, melakukan bantahan secara terbuka merupakan tindakan yang juga tidak bijaksana.

Pidato-pidato Presiden Soekarno yang dikenal menggelegar berhasil memompakan semangat rakyat melawan Malaysia. Salah satu pidatonya yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) adalah: ”Jawabanku atas bantuan aktif yang diberikan Amerika Serikat kepada Malaysia ialah: Kita tidak takut, Kita tidak akan dapat ditakut-takuti. Walaupun negara imperialis yang lain juga memberikan bantuan aktif kepada Malaysia, kita sebagai kekuatan internasional di kalangan negara-negara Nefos (The New EmergingForces), dengan rakyatnya sebanyak dua miliar jiwa, kita akan bersama-sama menghadapi negara-negara imperialis ini.” ( Nomer 1 dari 5, dikutip dari buku: Jenderal Yoga, Loyalis di Balik Layar halaman 50 – 54).(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pki  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...